HOME

Kamis, 28 Maret 2013

KEUTAMAAN MENYEGERAKAN SHALAT JUM'AT

Di antara hal yang dianjurkan untuk dilakukan pada hari Jum’at adalah bersegera ke masjid lebih awal dari hari-hari lainnya. Dengan berangkat lebih awal, seorang muslim bisa menunaikan shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, membaca shalawat, dan berdzikir. Selain itu ia mendapatkan pahala sedekah sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الجُمُعَةِ غُسْلَ الجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الخَامِسَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الإِمَامُ حَضَرَتِ المَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ» Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mandi pada hari Jumat seperti ia mandi junub, kemudian berangkat ke masjid di awal waktu maka ia seperti orang yang berkurban seekor unta. Barangsiapa berangkat ke masjid di waktu kedua, maka ia seperti orang yang berkurban seekor sapi. Barangsiapa berangkat ke masjid di waktu ketiga, maka ia seperti orang yang berkurban seekor kambing yang memiliki tanduk. Barangsiapa berangkat ke masjid di waktu keempat, maka ia seperti orang yang berkurban seekor ayam. Barangsiapa berangkat ke masjid di waktu kelima, maka ia seperti orang yang berkurban sebutir telur. Jika imam (khatib) telah keluar (naik ke mimbar), maka para malaikat hadir untuk mendengarkan dzikir (khutbah Jum’at).” (HR. Bukhari no. 881 dan Muslim no. 850) Seperti dijelaskan oleh para ulama, pengertian berkurban dalam hadits di atas adalah menyembelih hewan ternak dan menyedekahkan dagingnya kepada orang-orang yang membutuhkan. Dalam hadits yang lain dijelaskan ada dua orang malaikat yang berada di pintu masjid, mencatat nama dan pahala orang-orang yang bersegera berangkat menuju shalat Jum’at. Ketika khatib naik ke mimbar, maka kedua malaikat tersebut menutup buku catatannya dan ikut mendengarkan khutbah, sehingga orang-orang yang datang ke masjid setelah khatib naik ke mimbar tidak mendapatkan pahala bersegera kepada shalat Jum’at. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مَلَكَانِ يَكْتُبَانِ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ , كَرَجُلٍ قَدَّمَ بَدَنَةً , وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ بَقَرَةً , وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ شَاةً , وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ طَيْرًا , وَكَرَجُلٍ قَدَّمَ بَيْضَةً , فَإِذَا قَعَدَ الْإِمَامُ طُوِيَتِ الصُّحُفُ» Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Pada setiap pintu dari pintu-pintu masjid pada hari Jum’at terdapat dua orang malaikat yang mencatat orang-orang yang terlebih dahulu berangkat, kemudian orang-orang yang berangkat sesudahnya. Maka orang yang pertama berangkat ke masjid seperti orang yang mempersembahkan seekor unta. Orang yang pertama sesudahnya seperti orang yang mempersembahkan seekor sapi. Orang yang pertama sesudahnya seperti orang yang mempersembahkan seekor kambing. Orang yang pertama sesudahnya seperti orang yang mempersembahkan seekor burung (ayam). Orang yang pertama sesudahnya seperti orang yang mempersembahkan sebutir telur. Jika imam (khatib) telah keluar (naik ke mimbar), maka buku catatan para malaikat ditutup.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1770, Ibnu Hibban no. 2774, dan An-Nasai dalam as-sunan al-kubra no. 11907, hadits shahih) Untuk itu, sudah selayaknya seorang muslim menghindari kebiasaan buruk baru memasuki masjid setelah adzan Jum’at berkumandang dan khatib naik ke mimbar. Wallahu a’lam bish-shawab.

MISTERI DO'A DI HARI JUMA'T

Allah SWT melebihkan hari Jum’at dari hari-hari lainnya dalam sepekan dengan banyak keutamaan. Di antaranya pada hari Jum’at terdapat suatu waktu yang doa seorang muslim pada waktu tersebut dikabulkan oleh Allah SWT, selama memenuhi syarat-syarat dan adab-adab berdoa. Keutamaan terkabulnya doa pada waktu mustajab tersebut disebutkan dalam beberapa hadits. Di antaranya, عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً، لَا يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ، يَسْأَلُ اللهَ فِيهَا خَيْرًا، إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ»، قَالَ: وَهِيَ سَاعَةٌ خَفِيفَةٌ. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, “Sesungguhnya pada hari Jum’at terdapat suatu jam (waktu) tertentu, tidaklah seorang muslim mendapati waktu tersebut dan berdoa kepada Allah memohon kebaikan, melainkan Allah akan memenuhi permohonannya.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bersabda, “Waktu tersebut hanya sebentar.” (HR. Bukhari no. 6400 dan Muslim no. 852, dengan lafal Muslim) Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan waktu mustajab tersebut. Sebagian ulama menyatakan sejak bakda Shubuh. Sebagian lain menyatakan sejak khatib naik mimbar sampai waktu dilaksanakan shalat Jum’at. Sebagian lain menyatakan waktu khatib duduk sebentar di antara dua khutbah. Dan sejumlah pendapat lainnya. Pendapat yang paling kuat menyatakan waktu tersebut adalah satu jam terakhir di sore hari, yaitu satu jam sebelum matahari terbenam pertanda waktu shalat maghrib telah masuk. Hal ini berdasarkan sejumlah hadits shahih berikut, عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ، قَالَ: قُلْتُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ: إِنَّا لَنَجِدُ فِي كِتَابِ اللَّهِ: «فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ سَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُؤْمِنٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ فِيهَا شَيْئًا إِلَّا قَضَى لَهُ حَاجَتَهُ» . قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: فَأَشَارَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَوْ بَعْضُ سَاعَةٍ» ، فَقُلْتُ: صَدَقْتَ، أَوْ بَعْضُ سَاعَةٍ. قُلْتُ: أَيُّ سَاعَةٍ هِيَ؟ قَالَ: «هِيَ آخِرُ سَاعَاتِ النَّهَارِ» . قُلْتُ: إِنَّهَا لَيْسَتْ سَاعَةَ صَلَاةٍ، قَالَ: «بَلَى. إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا صَلَّى ثُمَّ جَلَسَ، لَا يَحْبِسُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ، فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ» Dari Abdullah bin Salam Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sedang duduk, maka saya mengatakan, “Sesungguhnya kami (kaum Yahudi, sebelum ia masuk Islam, pent) mendapati dalam kitab Allah (Taurat, pent) bahwa pada hari Jum’at terdapat suatu jam (waktu) tertentu, tidaklah seorang mukmin mendapati waktu tersebut saat ia melaksanakan shalat dan berdoa kepada Allah memohon suatu keperluan, melainkan Allah akan memenuhi keperluannya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberi isyarat kepadaku (Abdullah bin Salam) lalu bersabda, “Atau sebagian waktu (tidak satu jam penuh, pent).” Aku (Abdullah bin Salam) berkata: “Anda benar, memang sebagian waktu saja.” Abdullah bin Sallam lalu bertanya, “Waktu apakah ia?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Waktu (satu jam) terakhir dari waktu siang hari.” Abdullah bin Sallam berkata: “Tetapi waktu tersebut bukan waktu untuk shalat.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Ia adalah waktu shalat. Sebab, jika seorang mukmin menunaikan shalat (Ashar) kemudian duduk di tempatnya menunggu shalat berikutnya (Maghrib), maka sesungguhnya selama itu tengah mengerjakan shalat.” HR. Ibnu Majah no. 1139, Al-hafizh Al-Bushiri berkata: Sanadnya shahih dan para perawinya tsiqah) عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «يَوْمُ الْجُمُعَةِ ثِنْتَا عَشْرَةَ – يُرِيدُ – سَاعَةً، لَا يُوجَدُ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا، إِلَّا أَتَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ» Dari Jabir bin Abdullah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, “Hari Jum’at terdiri dari dua belas jam. Tidak ada seorang muslim pun yang memohon sesuatu kepada Allah (pada suatu jam tertentu), melainkan Allah akan mengabulkannya. Maka carilah jam terkabulnya doa tersebut pada satu jam terakhir setelah shalat Ashar!” (HR. Abu Daud no. 1048 dan An-Nasai no. 1389, sanadnya baik, dinyatakan shahih oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi, An-Nawawi, dan Al-Albani, dan dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar al-Aasqalani) عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: التَمِسُوا السَّاعَةَ الَّتِي تُرْجَى فِي يَوْمِ الجُمُعَةِ بَعْدَ العَصْرِ إِلَى غَيْبُوبَةِ الشَّمْسِ. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Carilah satu jam yang diharapkan pada hari Jum’at pada waktu setelah shalat Ashar sampai waktu terbenamnya matahari!” (HR. Tirmidzi no. 489, di dalamnya terdapat seorang perawi yang lemah bernama Muhammad bin Abi Humaid az-Zuraqi. Namun hadits ini diriwayatkan dari jalur lain oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Awsath dan dikuatkan oleh hadits Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Salam di atas) Imam Sa’id bin Manshur meriwayatkan sebuah riwayat sampai kepada Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumpul dan saling berdiskusi tentang satu jam terkabulnya doa pada hari Jum’at. Mereka kemudian bubar dan tiada seorang pun di antara mereka yang berbeda pendapat bahwa satu jam tersebut adalah satu jam terakhir pada hari Jum’at. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari menyatakan riwayat imam Sa’id bin Manshur ini shahih. Beliau lalu berkata, “Pendapat ini juga dianggap paling kuat oleh banyak ulama seperti imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawaih, dan dari kalangan madzhab Maliki adalah imam ath-Tharthusyi. Imam Al-‘Allai menceritakan bahwa gurunya, imam Ibnu Zamlikani yang merupakan pemimpin ulama madzhab Syafi’i pada zamannya memilih pendapat ini dan menyatakannya sebagai pendapat tegas imam Syafi’i.” Wallahu a’lam bish-shawab.

Adab Jima’ dan Cara Berhubungan Intim Suami isteri dalam Islam

Adab Jima’ dan Cara Berhubungan Intim Suami isteri dalam Islam Hari ini tanggal 25 April 2011 saya akan memberikan hadiah special bagi isteri, pasangan keluarga muslim atau bagi siapa saja yang ingin “mendatangi” isterinya atau “didatangi” suaminya secara Islam. Mungkin bagi sebagian orang hal ini dianggap kurang penting, karena mereka berpendapat : Hubungan intim suami isteri (Jima) tidak perlu pakai adab dan aturan alami saja.. nyaman.. Sah-sah saja pendapat tersebut karena itu hak asasi tapi…. sebelum berpendapat demikian coba pikirkanlah kejadian/ cerita yang saya alami 11 tahun yang lalu yaitu: Saya masih ingat betul dengan cerita sahabat saya yang bernama Muklish saat kami berjalan-jalan di kota Kimcheon Korsel, kami banyak menjumpai gadis yang berpakaian sangat minim, Kata sahabat saya: “ Pak Kyai (Guru ngaji) saya di Jawa Timur pernah ditanya oleh seorang Ibu : “Pak kenapa anak gadis saya nggak punya malu, berpakaian selalu yang minim-minim, saya jadi malu dengan tetangga, segala cara sudah saya usahakan tapi tetap saja anak saya bandel, susah sekali dinasehati kenapa pak bisa demikian? Jawab Pak Kyai : “Kamu bikin anak telanjang nggak ditutup jadi anak ya begitu” Apa benar begitu? Ya bisa jadi memang demikan karena Islam mempunyai adab dan cara yang baik dalam berhubungan intim (jima’) sehingga jika jima’ yang dilakukan tidak sesuai dengan adab ajaran Islam bisa saja keadaan seperti diatas terjadi. Lihat saja hampir 99% gadis yang berpakaian minim dan seksi karena orang tuanya tidak mempunyai pengetahuan agama Islam yang cukup terutama dalam hal jima’. Setelah saya cari alasannya kenapa Guru ngaji sahabat saya berkata demikian, ternyata Pak Kyai ini berpedoman pada hadist Rasullullah SAW: Dari ‘Atabah bin Abdi As-Sulami bahwa apabila kalian mendatangi istrinya (berjima’), maka hendaklah menggunakan penutup dan janganlah telanjang seperti dua ekor himar. (HR Ibnu Majah) Rasullullah SAW melarang jima’ tanpa penutup pasti ada maksudnya, selain yang diketahui yaitu adanya mahluk Allah lain yang melihat (jin, qorin dll), bisa jadi anak yang dihasilkan dengan jima’ telanjang akan menjadi anak yang kurang mempunyai rasa malu seperti diatas, hanya saja untuk memastikan jawabannya mungkin hanya orang yang diberi pengetahuan lebih oleh Allah seperti Pak Kyai diatas. Oleh karena itulah pengetahuan adab hubungan intim suami isteri dalam islam ini sangat penting agar muslimin dan muslimat diharapkan mempunyai keturunan yang baik dan tidak terjebak dalam perilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam. Adab dan Cara Berhubungan Intim ( Jima’) yang baik menurut Islam dapat dibagi dalam 3 keadaan yaitu : A. Adab sebelum Jima’ B. Adab saat Jima’ C. Adab setelah Jima’ A. Adab sebelum Jima’ 1. Menikah Menikah adalah syarat mutlak untuk dapat melakukan hubungan intim secara Islam, Menikah juga harus sesuai syarat dan rukunnya agar sah menurut islam. Syarat dan Rukun pernikahan adalah : Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya Ijab dan Kabul. Mahar harus sudah diberikan kepada isteri terlebih dahulu sebelum suami menggauli isterinya sesuai dengan sabda Rasullullah SAW: “.Ibnu Abbas berkata: Ketika Ali menikah dengan Fathimah, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: “Berikanlah sesuatu kepadanya.” Ali menjawab: Aku tidak mempunyai apa-apa. Beliau bersabda: “Mana baju besi buatan Huthomiyyah milikmu?”. Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Hakim. Ini artinya Ali harus memberikan mahar dulu sebelum “mendatangi” Fathimah Dalam Islam, setiap Jima’ yang dilakukan secara sah antara suami dengan isteri akan mendapat pahala sesuai dengan Sabda Rasullullah sallahu alaihi wassalam: “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah) Jadi Sungguh sangat beruntung bagi yang sudah menikah karena akan mendapat pahala jika jima’ dengan suami/istrinya sendiri , beda jika belum menikah jima’ akan menjadi dosa dan terkena hukum zina yang merupakan dosa terbesar no.2 setelah dosa sirik. Zina tidak saja akan mendapatkan dosa tapi juga Penyakit lahir maupun batin yaitu penyakit batin/jiwa (enggan menikah) dan penyakit lahir berbahaya seperti AIDS yang berbahaya karena belum ada obatnya yang cespleng sehingga penderitanya seperti tervonis menunggu mati dll. Menikah sangat banyak kebaikannya yaitu: Menikah sangat dianjurkan Allah & Rasullullah SAW, menikah akan mendapatkan hak untuk ditolong Allah, dapat memperbaiki akhlak, meluaskan rezeki, menambah keluhuran/ kehormatan dan yang pasti anda telah berhasil mengalahkan setan dkk karena orang yang menikah telah berubah menjadi orang yang penuh dengan pahala dan jika beribadahpun akan berlipat –lipat pahalanya dibandingkan ibadahnya saat membujang Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan)” (HR. Ibnu Ady dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah) Sabda Rasulullah saw,”Tiga orang yang memiliki hak atas Allah menolong mereka : seorang yang berjihad di jalan Allah, seorang budak (berada didalam perjanjian antara dirinya dengan tuannya) yang menginginkan penunaian dan seorang menikah yang ingin menjaga kehormatannya.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim dari hadits Abu Hurairoh) Rasulullah SAW bersabda : Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantaramu. Sesungguhnya, Allah akan memperbaiki akhlak, meluaskan rezeki, dan menambah keluhuran mereka (Al Hadits). Jadi jangan sampai ditipu mentah-mentah oleh setan untuk tidak ada keinginan / menunda nikah dengan lebih menyukai pacaran karena “Sungguh kepala salah seorang diantara kamu ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik, daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya” (HR. Thabrani dan Baihaqi) Rasulullah SAW. bersabda : “Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah” (HR. Bukhari). Jika ada orang yang enggan menikah karena alasan materi seperti penghasilan belum, tidak ada biaya atau miskin dll renungkanlah firman Allah SWT yang pasti benar dalam Al Quran S. An Nuur ayat 32: Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS.An Nuur 32) Bagi yang sudah mampu memberi nafkah tapi belummau menikah simaklah: Sabda Rasulullah saw.: Wahai kaum pemuda! Barang siapa di antara kamu sekalian yang sudah mampu memberi nafkah, maka hendaklah ia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih dapat menahan pandangan mata dan melindungi kemaluan (alat kelamin). Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penawar bagi nafsu. (Shahih Muslim No.2485) Demikianlah untuk dijadikan pengetahuan bagi yang belum menikah 2. Memilih Hari dan Waktu yang baik / sunnah untuk jima’ Semua hari baik untuk jima’ tapi hari yang terbaik untuk jima’ dan ada keterangannya dalam hadist adalah hari Jumat sedangkan hari lain yang ada manfaatnya dari hasil penelitian untuk jima’ adalah hari Kamis. Sedangkan waktu yang disarankan oleh Allah SWT untuk jima adalah setelah sholat Isya sampai sebelum sholat subuh dan tengah hari sesuai firman Allah dam surat An Nuur ayat 58. Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu . Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 24:58) Melihat kondisi diatas maka hari dan waktu terbaik untuk jima adalah : Hari Kamis Malam setelah Isya dan Hari Jumat sebelum sholat subuh dan tengah hari sebelum sholat jumat. Hal ini didasarkan pada Hadist berikut: Barang siapa yang menggauli isterinya pada hari Jumat dan mandi janabah serta bergegas pergi menuju masjid dengan berjalan kaki, tidak berkendaraan, dan setelah dekat dengan Imam ia mendengarkan khutbah serta tidak menyia-nyiakannya, maka baginya pahala untuk setiap langkah kakinya seperti pahala amal selama setahun,yaitu pahala puasa dan sholat malam didalamnya (HR Abu Dawud, An nasai, Ibnu Majah dan sanad hadist ini dinyatakan sahih) Dari Abu Hurairah radliyallhu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Barangsiapa mandi di hari Jum’at seperti mandi janabah, kemudian datang di waktu yang pertama, ia seperti berkurban seekor unta. Barangsiapa yang datang di waktu yang kedua, maka ia seperti berkurban seekor sapi. Barangsiapa yang datang di waktu yang ketiga, ia seperti berkurban seekor kambing gibas. Barangsiapa yang datang di waktu yang keempat, ia seperti berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang datang di waktu yang kelima, maka ia seperti berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar (dan memulai khutbah), malaikat hadir dan ikut mendengarkan dzikir (khutbah).” (HR. Bukhari no. 881 Muslim no. 850). Pendapat di atas juga mendapat penguat dari riwayat Aus bin Aus radliyallah ‘anhu yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan khutbahnya, dan tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari setiap langkah yang ditempuhnya dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun.” (HR. Abu Dawud no. 1077, Al-Nasai no. 1364, Ibnu Majah no. 1077, dan Ahmad no. 15585 dan sanad hadits ini dinyatakan shahih) Hasil penelitian di situs berita internet di: Detikhealth Jumat, 15/10/2010 17:58 WIB Seperti dilansir dari The Sun, Jumat (15/10/2010) Kamis, hari terbaik untuk berhubungan seksual Berdasarkan penelitian, tingkat energi kortisol alami yang merangsang hormon seks berada di titik puncak pada hari Kamis. Aturlah jam alarm Anda agar terbangun dan siap untuk melakukan hubungan seks di pagi hari Kamis. Hari ini adalah ketika hormon seks testosteron pada pria dan estrogen pada wanita lima kali lebih tinggi dari biasa. NB: Ada persesuaian antara hari kamis menurut penelitian dengan hari jumat dalam hadist karena Hari Jumat menurut orang islam dimulainya saat Maghrib (hari kamis sore) dan berakhir pada jumat sore sebelum maghrib 3. Disunahkan mandi sebelum jima’ Mandi sebelum jima’ dan bersikat gigi bertujuan agar memberikan kesegaran dan kenikmatan saat jima’. Mandi akan menambah nikmat jima karena badan akan terasa segar dan bersih sehingga mengurangi gangguan saat jima’. Jangan lupa jika setelah selesai jima’ dan masih ingin mengulangi lagi sebaiknya kemaluan dicuci kemudian berwudhu. Abu Rofi’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari pernah menggilir istri-istri beliau, beliau mandi tiap kali selesai berhubungan bersama ini dan ini. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah lebih baik engkau cukup sekali mandi saja?” Beliau menjawab, “Seperti ini lebih suci dan lebih baik serta lebih bersih.” (HR. Abu Daud no. 219 dan Ahmad 6/8. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) 4. Sebaiknya sholat sunnah 2 rakaat sebelum jima’ Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata: Aku memberi nasehat kepada seorang pria yang hendak menikahi pemudi yang masih gadis, karena ia takut isterinya akan membencinya jika ia mendatanginya, yaitu perintahkanlah (diajak) agar ia melaksanakan sholat 2 rakaat dibelakangmu dan berdoa : Ya Allah berkahilah aku dan keluargaku dan berkahilah mereka untukku. Ya Allah satukanlah kami sebagaimana telah engkau satukan kami karena kebaikan dan pisahkanlah kami jika Engkau pisahkan untuk satu kebaikan (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Thabrani dngan sanad Sahih 5. Menggunakan parfum yang disukai suami/ isteri sebelum jima’ Menggunakan parfum oleh perempuan sebelum jima di sunahkan karena akan lebih lebih meningkatkan gairah suami isteri sehingga meningkatkan kualitas dalam berhubungan suami isteri. Hal ini didasarkan pada hadist berikut : Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah (HR. Tirmidzi). Perempuan manapun yang menggunakan parfum kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium wanginya maka dia seorang pezina” (HR Ahmad, 4/418; shahihul jam’: 105) “Perempuan manapun yang memakai parfum kemudian keluar ke masjid (dengan tujuan) agar wanginya tercium orang lain maka shalatnya tidak diterima sehingga ia mandi sebagaimana mandi janabat” (HR Ahmad2/444, shahihul jam’ :2073.) Penggunaan parfum oleh wanita diperbolehkan atau disunatkan tergantung dari tujuannya, jika tujuannya untuk merangsang suami dalam jima’ disunahkan tapi jika digunakan untuk merangsang kaum laki-laki akan berdosa. 6. Berpakaian dan berdandan yang disukai suami / isteri sebelum jima’ Seorang isteri sebaiknya berdandan dan memakai pakaian yang disukai suami untuk menyenangkan dan memudahkan suami berjima’. Berpakaian seksi dikamar tidur dimana hanya suami atau isteri yang melihatnya diperbolehkan dalam islam karena dapat meningkatkan kualitas hubungan suami isteri (Hadist menyusul) 7. Berdoa meminta perlindungan Allah sebelum Jima’ : Berdoa sangat penting sebelum melakukan jima’ terutama adalah doa memohon perlindungan kepada Allah terhadap gangguan setan dalam pelaksanaan jima. Berdoa dimulai dengan mengucapkan: “ Bismillah. Allahumma jannabnasyoithona wa jannabisyaithona maa rojaktanaa” Artinya : Dengan nama Allâh. Ya Allâh, hindarkanlah kami dari syetan dan jagalah apa yang engkau rizkikan kepada kami dari syetanRasulullah saw. bersabda: Apabila salah seorang mereka akan menggauli istrinya, hendaklah ia membaca: “Bismillah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami”. Sebab jika ditakdirkan hubungan antara mereka berdua tersebut membuahkan anak, maka setan tidak akan membahayakan anak itu selamanya. (Shahih Muslim No.2591) “Dari Ibnu Abbas r.a. ia menyampaikan apa yang diterima dari Nabi SAW. Beliau bersabda, “Andaikata seseorang diantara kamu semua mendatangi (menggauli) isterinya, ucapkanlah, “Bismi Allâhi, Allâhumma Jannibnâ Syaithânâ wajannibi al-syaithânâ mâ razaqtanâ.” (Dengan nama Allâh. Ya Allâh, hindarilah kami dari syetan dan jagalah apa yang engkau rizkikan kepada kami dari syetan.” Maka apabila ditakdirkan bahwa mereka berdua akan mempunyai anak, syetan tidak akan pernah bisa membahayakannya.” (HR. Bukhâri Kitab Wudhuk Hadist 141). Jika jima’ untuk dengan tujuan mendapatkan anak bisa berdoa sbb : “Ya Allah berilah kami keturunan yang baik, bisa dijadikan pembuka pintu rahmat, sumber ilmu, hikmah serta pemberi rasa aman bagi umat” Amin B. Adab saat jima’ 1. Jima dalam ruang tertutup tidak ditempat terbuka Jima adalah hubungan yang sangat pribadi sehingga jika dilakukan ditempat terbuka (atap langit) dengan tekhnologi lensa terkini dapat saja hubungan itu terlihat atau direkam oleh karena Jima’ ditempat tertutup lebih baik. (Hadist menyusul) 2. Melakukan cumbu rayu saat jima dan bersikap romantis Islam mengajarkan jima yang disertai dengan pendahuluan ungkapan perasaan kasih sayang seperti ucapan romantis, ciuman dan cumbu rayu dan tidak mengajarkan langsung hajar tanpa pendahuluan . Hal ini sesuai dengan: Sabda Rasul Allâh SAW: “Siapa pun diantara kamu, janganlah menyamai isterinya seperti seekor hewan bersenggama, tapi hendaklah ia dahului dengan perentaraan. Selanjutnya, ada yang bertanya: Apakah perantaraan itu ? Rasul Allâh SAW bersabda, “yaitu ciuman dan ucapan-ucapan romantis”. (HR. Bukhâriy dan Muslim). Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Beliau bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu.” (HR. At-Tirmidzi). Ketika Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? …yang dapat saling mengigit bibir denganmu.” HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim (II:1087) 3. Boleh, memberikan rangsangan dengan meraba, melihat, mencium kemaluan isteri Suami boleh melihat, meraba, mencium kemaluan isteri begitu juga sebaliknya, meskipun boleh mencium kemaluan itu lebih baik jika tidak dilakukan karena yang demikian itu lebih bersih. Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (QS. 2:223) “Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim). 4. Menggunakan selimut sebagai penutup saat berjima Dari ‘Atabah bin Abdi As-Sulami bahwa apabila kalian mendatangi istrinya (berjima’), maka hendaklah menggunakan penutup dan janganlah telanjang seperti dua ekor himar. (HR Ibnu Majah) Maksudnya adalah jangan bertelanjang seperti Himar yang kelihatan kemaluannya dan pantatnya saat berjima. tapi pakailah selimut sebagai penutup. atau bertelanjang dalam selimut. 5. Jima boleh dari mana saja asal tidak lewat jalan belakang (sodomi) Jima dengan isteri boleh dilakukan darimana arah mana saja dari depan, samping , belakang ( asal tidak sodomi) atau posisi berdiri, telungkup, duduk, berbaring dll Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (QS. 2:223) Note : Dubur adalah bukan tempat bercocok tanam yang menghasilkan tanaman (keturunan) tapi tempat pembuangan kotoran Dari Abi Hurairah Radhiallahu’anhu. bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Dilaknat orang yang menyetubuhi wanita di duburnya”. (HR Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai) 6. Boleh menggunakan kondom atau dikeluarkan diluar kemaluan isteri (‘Azl) Dari Jabir berkata: ”Kami melakukan ’azl di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan Rasul mendengarnya tetapi tidak melarangnya” (HR muslim). C. Adab setelah jima’ 1. Tidak langsung meninggalkan suami / isteri setelah jima’ berdiam diri (Hadist menyusul) 2. Mencuci kemaluan dan berwudhu jika ingin mengulang Jima’ Dari Abu Sa’id, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi istrinya, lalu ia ingin mengulangi senggamanya, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Muslim no. 308) 3. Berdoa setelah Jima (Hadist menyusul) 4. Mandi besar / Mandi janabah setelah jima’ “Dari Ubai bin Ka`ab bahwasanya ia berkata : “Wahai Rasul Allâh, apabila ia seorang laki-laki menyetubuhi isterinya, tetapi tidak mengeluarkan mani, apakah yang diwajibkan olehnya? Beliau bersabda, ”Hendaknya dia mencuci bagian-bagian yang berhubungan dengan kemaluan perempuan, berwudhu’ dan lalu shalat”. Abu `Abd Allâh berkata, “mandi adalah lebih berhati-hati dan merupakan peraturan hukum yang terakhir. Namun mengetahui tidak wajibnya mandi kamu uraikan juga untuk menerangkan adanya perselisihan pendapat antara orang `alim.” (HR. Bukhâriy dalam Kitab Shahihnya/Kitab Mandi, hadits ke-290 Hal-hal yang dilarang dalam berhubungan suami isteri jima dalam Islam: 1. Jima’ saat isteri dalam keadaan haid “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allâh kepadamu. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah/2: 222) 2. Jima’ lewat jalan belakang (sodomi) Dari Abi Hurairah Radhiallahu’anhu. bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Dilaknat orang yang menyetubuhi wanita di duburnya”. (HR Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai) Dari Amru bin Syu’aib berkata bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Orang yang menyetubuhi wanita di duburnya sama dengan melakukan liwath (sodomi) kecil.. (HR Ahmad) 3. Jima dengan tidak menggunakan penutup/ telanjang Dari ‘Atabah bin Abdi As-Sulami bahwa apabila kalian mendatangi istrinya (berjima’), maka hendaklah menggunakan penutup dan janganlah telanjang seperti dua ekor himar. (HR Ibnu Majah) Semoga Manfaat dan barokah..! Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh (dikutip dalam "Solusi Keluarga Muslim")

Minggu, 24 Maret 2013

KEUTAMAAN MEMBACA AL QUR'AN

Sebagian orang malas membaca Al Quran padahal di dalam terdapat petunjuk untuk hidup di dunia. Sebagian orang merasa tidak punya waktu untuk membaca Al Quran padahal di dalamnya terdapat pahala yang besar. Sebagian orang merasa tidak sanggup belajar Al Quran karena sulit katanya, padahal membacanya sangat mudah dan sangat mendatangkan kebaikan. Mari perhatikan hal-hal berikut: Membaca Al Quran adalah perdagangan yang tidak pernah merugi {الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)} “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, قال قتادة رحمه الله: كان مُطَرف، رحمه الله، إذا قرأ هذه الآية يقول: هذه آية القراء. “Qatadah (wafat: 118 H) rahimahullah berkata, “Mutharrif bin Abdullah (Tabi’in, wafat 95H) jika membaca ayat ini beliau berkata: “Ini adalah ayat orang-orang yang suka membaca Al Quran” (Lihat kitab Tafsir Al Quran Al Azhim). Asy Syaukani (w: 1281H) rahimahullah berkata, أي: يستمرّون على تلاوته ، ويداومونها . “Maksudnya adalah terus menerus membacanya dan menjadi kebiasaannya”(Lihat kitab Tafsir Fath Al Qadir). Dari manakah sisi tidak meruginya perdagangan dengan membaca Al Quran? 1) Satu hurufnya diganjar dengan 1 kebaikan dan dilipatkan menjadi 10 kebaikan. عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ ». “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469) عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رضى الله عنه قَالَ : تَعَلَّمُوا هَذَا الْقُرْآنَ ، فَإِنَّكُمْ تُؤْجَرُونَ بِتِلاَوَتِهِ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرَ حَسَنَاتٍ ، أَمَا إِنِّى لاَ أَقُولُ بِ الم وَلَكِنْ بِأَلِفٍ وَلاَمٍ وَمِيمٍ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرُ حَسَنَاتٍ. “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah Al Quran ini, karena sesungguhnya kalian diganjar dengan membacanya setiap hurufnya 10 kebaikan, aku tidak mengatakan itu untuk الم , akan tetapi untuk untuk Alif, Laam, Miim, setiap hurufnya sepuluh kebaikan.” (Atsar riwayat Ad Darimy dan disebutkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 660). Dan hadits ini sangat menunjukan dengan jelas, bahwa muslim siapapun yang membaca Al Quran baik paham atau tidak paham, maka dia akan mendapatkan ganjaran pahala sebagaimana yang dijanjikan. Dan sesungguhnya kemuliaan Allah Ta’ala itu Maha Luas, meliputi seluruh makhluk, baik orang Arab atau ‘Ajam (yang bukan Arab), baik yang bisa bahasa Arab atau tidak. 2) Kebaikan akan menghapuskan kesalahan. {إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ} [هود: 114] “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114) 3) Setiap kali bertambah kuantitas bacaan, bertambah pula ganjaran pahala dari Allah. عنْ تَمِيمٍ الدَّارِىِّ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ بِمِائَةِ آيَةٍ فِى لَيْلَةٍ كُتِبَ لَهُ قُنُوتُ لَيْلَةٍ» “Tamim Ad Dary radhiyalahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membaca 100 ayat pada suatu malam dituliskan baginya pahala shalat sepanjang malam.” (HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6468). 4) Bacaan Al Quran akan bertambah agung dan mulia jika terjadi di dalam shalat. عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ أَنْ يَجِدَ فِيهِ ثَلاَثَ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ ». قُلْنَا نَعَمْ. قَالَ « فَثَلاَثُ آيَاتٍ يَقْرَأُ بِهِنَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلاَثِ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ ». “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maukah salah seorang dari kalian jika dia kembali ke rumahnya mendapati di dalamnya 3 onta yang hamil, gemuk serta besar?” Kami (para shahabat) menjawab: “Iya”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Salah seorang dari kalian membaca tiga ayat di dalam shalat lebih baik baginya daripada mendapatkan tiga onta yang hamil, gemuk dan besar.” (HR. Muslim). Membaca Al Quran bagaimanapun akan mendatangkan kebaikan عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ ». “Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang yang lancar membaca Al Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan senantiasa selalu taat kepada Allah, adapun yang membaca Al Quran dan terbata-bata di dalamnya dan sulit atasnya bacaan tersebut maka baginya dua pahala” (HR. Muslim). Membaca Al Quran akan mendatangkan syafa’at عَنْ أَبي أُمَامَةَ الْبَاهِلِىُّ رضى الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ… “Abu Umamah Al Bahily radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bacalah Al Quran karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya” (HR. Muslim). Masih banyak lagi keutamaan-keutamaan yang memotivasi seseorang untuk memperbanyak bacaan Al Quran terutama di bulan membaca Al Quran. Dan pada tulisan kali ini hanya menyebutkan sebagian kecil keutamaan dari membaca Al Quran bukan untuk menyebutkan seluruh keutamaannya. Dan ternyata generasi yang diridhai Allah itu, adalah mereka orang-orang yang giat dan semangat membaca Al Quran bahkan mereka mempunyai jadwal tersendiri untuk baca Al Quran. عَنْ أَبِى مُوسَى رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى لأَعْرِفُ أَصْوَاتَ رُفْقَةِ الأَشْعَرِيِّينَ بِالْقُرْآنِ حِينَ يَدْخُلُونَ بِاللَّيْلِ وَأَعْرِفُ مَنَازِلَهُمْ مِنْ أَصْوَاتِهِمْ بِالْقُرْآنِ بِاللَّيْلِ وَإِنْ كُنْتُ لَمْ أَرَ مَنَازِلَهُمْ حِينَ نَزَلُوا بِالنَّهَارِ…». “Abu Musa Al Asy’ary radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui suara kelompok orang-orang keturunan Asy’ary dengan bacaan Al Quran, jika mereka memasuki waktu malam dan aku mengenal rumah-rumah mereka dari suara-suara mereka membaca Al Quran pada waktu malam, meskipun sebenarnya aku belum melihat rumah-rumah mereka ketika mereka berdiam (disana) pada siang hari…” (HR. Muslim). MasyaAllah, coba kita bandingkan dengan diri kita apakah yang kita pegang ketika malam hari, sebagian ada yang memegang remote televisi menonton program-program yang terkadang bukan hanya tidak bermanfaat tetapi mengandung dosa dan maksiat, apalagi di dalam bulan Ramadhan. Dan jikalau riwayat di bawah ini shahih tentunya juga akan menjadi dalil penguat, bahwa kebiasan generasi yang diridhai Allah yaitu para shahabat radhiyallahu ‘anhum ketika malam hari senantiasa mereka membaca Al Quran. Tetapi riwayat di bawah ini sebagian ulama hadits ada yang melemahkannya. عَنْ أَبِى صَالِحٍ رحمه الله قَالَ قَالَ كَعْبٌ رضى الله عنه: نَجِدُ مَكْتُوباً : مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ فَظٌّ وَلاَ غَلِيظٌ ، وَلاَ صَخَّابٌ بِالأَسْوَاقِ ، وَلاَ يَجْزِى بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ ، وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَغْفِرُ ، وَأُمَّتُهُ الْحَمَّادُونَ ، يُكَبِّرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى كُلِّ نَجْدٍ ، وَيَحْمَدُونَهُ فِى كُلِّ مَنْزِلَةٍ ، يَتَأَزَّرُونَ عَلَى أَنْصَافِهِمْ ، وَيَتَوَضَّئُونَ عَلَى أَطْرَافِهِمْ ، مُنَادِيهِمْ يُنَادِى فِى جَوِّ السَّمَاءِ ، صَفُّهُمْ فِى الْقِتَالِ وَصَفُّهُمْ فِى الصَّلاَةِ سَوَاءٌ ، لَهُمْ بِاللَّيْلِ دَوِىٌّ كَدَوِىِّ النَّحْلِ ، مَوْلِدُهُ بِمَكَّةَ ، وَمُهَاجِرُهُ بِطَيْبَةَ ، وَمُلْكُهُ بِالشَّامِ. “Abu Shalih berkata: “Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kami dapati tertulis (di dalam kitab suci lain): “Muhammad adalah Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, tidak kasar, tidak pemarah, tidak berteriak di pasar, tidak membalas keburukan dengan keburukan akan tetapi memaafkan dan mengampuni, dan umat (para shahabat)nya adalah orang-orang yang selalu memuji Allah, membesarkan Allah ‘Azza wa Jalla atas setiap perkara, memuji-Nya pada setiap kedudukan, batas pakaian mereka pada setengah betis mereka, berwudhu sampai ujung-ujung anggota tubuh mereka, yang mengumandangkan adzan mengumandangkan di tempat atas, shaf mereka di dalam pertempuran dan di dalam shalat sama (ratanya), mereka memiliki suara dengungan seperti dengungannya lebah pada waktu malam, tempat kelahiran beliau adalah Mekkah, tempat hijranya adalah Thayyibah (Madinah) dan kerajaannya di Syam.” Maksud dari “mereka memiliki suara dengungan seperti dengungannya lebah pada waktu malam” adalah: أي صوت خفي بالتسبيح والتهليل وقراءة القرآن كدوي النحل “Suara yang lirih berupa ucapan tasbih (Subhanallah), tahlil (Laa Ilaaha Illallah), dan bacaan Al Quran seperti dengungannya lebah”. (Lihat kitab Mirqat Al Mafatih Syarh Misykat Al Mashabih). Salah satu ibadah paling agung adalah membaca Al Quran عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما : ضَمِنَ اللَّهُ لِمَنَ اتَّبَعَ الْقُرْآنَ أَنْ لاَ يَضِلَّ فِي الدُّنْيَا ، وَلاَ يَشْقَى فِي الآخِرَةِ ، ثُمَّ تَلاَ {فَمَنَ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى}. “Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Allah telah menjamin bagi siapa yang mengikuti Al Quran, tidak akan sesat di dunia dan tidak akan merugi di akhirat”, kemudian beliau membaca ayat: {فَمَنَ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى} “Lalu barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”. (QS. Thaha: 123) (Atsar shahih diriwayatkan di dalam kitab Mushannaf Ibnu Abi Syaibah). عَنْ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ رضى الله عنه أَنَّهُ قَالَ: ” تَقَرَّبْ مَا اسْتَطَعْتَ، وَاعْلَمْ أَنَّكَ لَنْ تَتَقَرَّبَ إِلَى اللهِ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ كَلَامِهِ “. “Khabbab bin Al Arat radhiyallahu ‘anhu berkata: “Beribadah kepada Allah semampumu dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan pernah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang lebih dicintai-Nya dibandingkan (membaca) firman-Nya.” (Atsar shahih diriwayatkan di dalam kitab Syu’ab Al Iman, karya Al Baihaqi). عَنْ عَبْدِ اللهِ بن مسعود رضى الله عنه ، أنه قَالَ: ” مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ فَلْيَنْظُرْ، فَإِنْ كَانَ يُحِبُّ الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ “. “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Siapa yang ingin mengetahui bahwa dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka perhatikanlah jika dia mencintai Al Quran maka sesungguhnya dia mencintai Allah dan rasul-Nya.” (Atsar shahih diriwayatkan di dalam kitab Syu’ab Al Iman, karya Al Baihaqi). وقال وهيب رحمه الله: “نظرنا في هذه الأحاديث والمواعظ فلم نجد شيئًا أرق للقلوب ولا أشد استجلابًا للحزن من قراءة القرآن وتفهمه وتدبره”. “Berkata Wuhaib rahimahullah: “Kami telah memperhatikan di dalam hadits-hadits dan nasehat ini, maka kami tidak mendapati ada sesuatu yang paling melembutkan hati dan mendatangkan kesedihan dibandingkan bacaan Al Quran, memahami dan mentadabburinya”. Mudah mudahan barokah manfaat.

KEUTAMAAN SHALAT TAHAJJUD

Shalat malam atau shalat tahajud adalah amalan yang mulia. Inilah kebiasaan orang sholeh. Mereka biasa menjaga shalat malam mereka. Waktu malam mereka banyak digunakan untuk bermunajat pada Allah. Apalagi ketika mendapati sepertiga malam terakhir, mereka memperbanyak do'a kepada Allah karena mengingat keutamaan do'a mustajab kala itu. Semoga dengan mengetahui keutamaan shalat tahajud berikut ini kita semakin giat menjaganya. Allah Ta'ala berfirman, أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آَنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآَخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. ” (QS. Az Zumar: 9). Yang dimaksud qunut dalam ayat ini bukan hanya berdiri, namun juga disertai dengan khusu' (Lihat Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 12: 115). Salah satu maksud ayat ini, “Apakah sama antara orang yang berdiri untuk beribadah (di waktu malam) dengan orang yang tidak demikian?!” (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 7/166). Jawabannya, tentu saja tidak sama. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ “Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –Muharram-. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ “Hendaklah kalian melaksanakan qiyamul lail (shalat malam) karena shalat amalan adalah kebiasaan orang sholih sebelum kalian dan membuat kalian lebih dekat pada Allah. Shalat malam dapat menghapuskan kesalahan dan dosa. ” (Lihat Al Irwa' no. 452. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu berkata, "Shalat hamba di tengah malam akan menghapuskan dosa." Lalu beliau membacakan firman Allah Ta'ala, تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, ..." (HR. Imam Ahmad dalam Al Fathur Robbani 18/231. Bab "تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ ") 'Amr bin Al 'Ash radhiyallahu 'anhu berkata, "Satu raka'at shalat malam itu lebih baik dari sepuluh rakaat shalat di siang hari." (Disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma'arif 42 dan As Safarini dalam Ghodzaul Albaab 2: 498) Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Barangsiapa yang shalat malam sebanyak dua raka'at maka ia dianggap telah bermalam karena Allah Ta'ala dengan sujud dan berdiri." (Disebutkan oleh An Nawawi dalam At Tibyan 95) Ada yang berkata pada Al Hasan Al Bashri , "Begitu menakjubkan orang yang shalat malam sehingga wajahnya nampak begitu indah dari lainnya." Al Hasan berkata, "Karena mereka selalu bersendirian dengan Ar Rahman -Allah Ta'ala-. Jadinya Allah memberikan di antara cahaya-Nya pada mereka." Abu Sulaiman Ad Darini berkata, "Orang yang rajin shalat malam di waktu malam, mereka akan merasakan kenikmatan lebih dari orang yang begitu girang dengan hiburan yang mereka nikmati. Seandainya bukan karena nikmatnya waktu malam tersebut, aku tidak senang hidup lama di dunia." (Lihat Al Lathoif 47 dan Ghodzaul Albaab 2: 504) Imam Ahmad berkata, "Tidak ada shalat yang lebih utama dari shalat lima waktu (shalat maktubah) selain shalat malam." (Lihat Al Mughni 2/135 dan Hasyiyah Ibnu Qosim 2/219) Tsabit Al Banani berkata, "Saya merasakan kesulitan untuk shalat malam selama 20 tahun dan saya akhirnya menikmatinya 20 tahun setelah itu." (Lihat Lathoif Al Ma'arif 46). Jadi total beliau membiasakan shalat malam selama 40 tahun. Ini berarti shalat malam itu butuh usaha, kerja keras dan kesabaran agar seseorang terbiasa mengerjakannya. Ada yang berkata pada Ibnu Mas'ud, "Kami tidaklah sanggup mengerjakan shalat malam." Beliau lantas menjawab, "Yang membuat kalian sulit karena dosa yang kalian perbuat." (Ghodzaul Albaab, 2/504) Lukman berkata pada anaknya, "Wahai anakku, jangan sampai suara ayam berkokok mengalahkan kalian. Suara ayam tersebut sebenarnya ingin menyeru kalian untuk bangun di waktu sahur, namun sayangnya kalian lebih senang terlelap tidur." (Al Jaami' li Ahkamil Qur'an 1726) Tutuplah shalat malam (tahajud) dengan shalat witir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً “Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751) Wallahu 'a'lamu bisshawab

Jumat, 22 Maret 2013

Kamis, 21 Maret 2013

HAKIKAT PENDIDIK DALAM ISLAM

Pendahuluan. Guru atau juga sekarang sering dikenal dengan istilah pendidik memiliki peran besar dalam dunia pendidikan. Menjadi pendidik yang prefesional merupakan aktivitas yang sangat mulia. Seorang pendidik tidak sekedar mencerdaskan pesertanya dalam bidang kognitif dan afektif belaka namun juga psikomotorik. Artinya seorang anak didik tidak sekedar dicekoki dengan beragamnya intelektual dan nilai-nilai yang ada namun juga mengupayakan agar anak didik bisa mempraktikkannya sebagai amal shalihnya. Maka tak heran jika seorang guru seringkali disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.Hanya saja yang perlu diperhatikan, pendidik yang baik, sebagaimana yang tercermin di atas belumlah bisa direalisasikan oleh setiap guru. Banyak dari pendidik kita yang sangat jauh dari yang meskinya menjadi tujuan pendidikan. Dari ketiga kecerdasan yang meskinya diberikan pendidik kepada anak didiknya, tidak jarang yang tidak bisa memberikannya meski hanya salah satunya. Bahkan ada juga pendidik yang malah mematikan kecerdasan anak didiknya. Maka dari sini untuk menjadi seorang pendidik yang prefesional setidaknya memiliki beberapa kompetensi. hidup semasanya akan memperoleh pancaran nur keilmiahannya dan andaikata dunia tidak ada pendidik niscaya manusia seperti binatang, sebab pendidikan adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan kepada sifat insaniyah2 Pendidik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pendidikan. Penting karena peribadi pendidik juga menentukan keberhasilan mutu pendidikan. Tujuan yang hendak dicapai dari pendidikan adalah beribadah dan ketakwaan diri kepada sang pencipta sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur'an surah al-Dzariyat ayat 56 bahwa manusia diciptakan ke dunia tidak lain hanya untuk beribadah. Sejalan dengan ini, tugas seorang pendidik tidaklah mudah karena disamping menjadi seorang guru, pendidik juga bertugas membina manusia secara pribadi dan kelompok yang mempunyai unsur-unsur material dan immaterial, sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah sekaligus sebagai khalifah dimuka bumi. Sejalan dengan perkembangan zaman, dekadensi moral dan akhlak peserta didik justru semakin menurun. Tuduhan atas kondisi tersebut sering diarahkan kepada seorang pendidik dan mengadilinya dengan berbagai klaim dari yang tidak bermutu, tidak professional sampai pada tidak becus dalam mendidik anak. Kondisi penilaian yang demikian sebenarnya mencerminkan ke kurang dewasaan dan tidak berkeadilan. Pada dasarnya tugas pertama dan utama dalam mendidik anak adalah tanggung jawab orang tua karena anak sebagai generasi penerus, kebanggaan dan investasi bagi orang tua setelah mereka meninggal. Karena keterbatasan dari orang tua maka pendidikan anaknya diserahkan kepada lembaga pendidikan seperti madrasah/sekolah. Penyelesaian terbaik adalah perlu dicari sebabnya dan secepat mungkin dicari solusinya. Sebagai solusinya, pribadi seorang pendidik tidak dapat dikesampingkan karena pendidik disamping sebagai pengajar juga sebagai uswah hasanah bagi peserta didiknya. Kemudian, persoalan yang muncul adalah pendidik yang bagaimanakah yang dapat dikatakan sebagai pewaris Nabi (uswah hasanah). Berangkat dari itu, makalah sederhana ini akan membahas tentang pengertian pendidik, kepribadian pendidik serta seorang pendidik yang dapat mengemban tugas sebagai khalifah sekaligus penyambung estafet kerasulan dimuka bumi. B. Mengenal Seorang Pendidik. Kata pendidik (guru/ dosen/ seprofesinya) berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar. Dalam bahasa inggris disebut Teacher; dan dalam bahasa Arab –antara lain- disebut Mu’allim, artinya orang yang banyak mengetahui dan biasanya digunakan para ahli pendidikan sebagai sebutan untuk guru. Didalam dunia pendidikan unsur yang melakukan tugas mendidik dikenal dengan dua sebutan yaitu pendidik dan guru. Pendidik adalah orang yang berperan mendidik, membimbing dan melakukan tugas pendidikan (tarbiyah). Sedangkan guru adalah orang yang melakukan tugas mengajar (ta'lim), dan guru sering dimaknai pula sebagai pendidik meskipun dalam beberapa kasus seorang guru sering kali belum mampu bersikap sebagai pendidik sekaligus. Pendidik dalam proses belajar mengajar secara otomatis terlibat dalam proses pengajaran, demikian juga pengajar/guru pada saat melakukan proses pembelajaran ia juga harus menjaga moral dan keteladanan bagi muridnya. Pendidikan mempunyai kedalaman etik dan ruhani dibanding pengajaran atau pembelajaran. Namun, dua istilah dalam dunia pendidikan (pendidik dan guru) secara substansi tidak ada perbedaan karena pendidikan dan pengajaran tidak dapat dipisahkan secara dikotomis. Definisi diatas juga sejalan dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik berarti tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, tutor, instruktur, fasilitator dan lain-lain, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Disamping itu, ada beberapa pengertian tentang pendidik yang telah dirumuskan oleh beberapa ahli antara lain : a. Ahmad D. Marimba mengartikan pendidik sebagai orang yang memikul pertanggung jawaban untuk mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kwajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan si terdidik. b. Sutari iman bernadib mengemukakan bahwa pendidik adalah tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan. Dari pengertian diatas nampak jelas bahwa dasar untuk menentukan pengertian pendidik adalah tanggung jawab dan kedewasaan. Dalam pendidikan Islam digunakan tanggung jawab sebagai dasar untuk menentukan pengertian pendidik, sebab pendidikan merupakan kewajiban agama dan kewajiban agama hanya dipikulkan kepada orang yang dewasa. Hal ini sejalan dengan kriteria seorang pendidik menurut imam Zarnuji yaitu alim, wara' dan lebih tua (kedewasaan), sebab pendidik merupakan simbol personifikasi bagi subyek didiknya. Kewajiban itu pertama-tama bersifat personal, dalam arti setiap orang bertanggung jawab atas pendidikan dirinya sendiri kemudian bersifat social. Pendidik dalam keseluruhan proses pendidikan salah satu unsur yang sangat penting. Melalui pendidiklah aktifitas pedagogis dapat diarahkan kepada tujuan yang ingin dicapai. Pendidik dalam perspektif islam mempunyai peranan yang sangat fital dalam proses pendidikan, sebab dialah yang menentukan arah pendidikan dan bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif, kognitif maupun psikomotoriknya. Dalam peranannya yang sangat fital tersebut, maka seorang pendidik dituntut mempunyai kepribadian yang baik. Sebab, kepribadian itu sedikit banyak akan dilihat dan dicontoh oleh si terdidik. Selain dari pada itu, islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang yang mengemban tugas sebagai pendidik. Penghargaan islam terhadap pendidik terdapat dibeberapa ayat Al-Qur'an, hadits Nabi SAW. C. Kepribadian Pendidik. Pendidik atau guru senantiasa mendapat perhatian, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Mereka memandang bahwa guru merupakan media yang sangat penting. Pembahasan para pakar psikologi pendidikan tentang kepribadian terutama menyangkut perbedaan individual yang berkaitan dengan karakteristik yang membedakan satu individu dengan individu lain. Salah satu definisi kepribadian adalah: pola prilaku dan cara berfikir yang khas yang menentukan penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya. Dari devinisi tersebut tersirat adanya konsistensi prilaku bahwa orang cenderung untuk berfikir dan bertindak dengan cara tertentu dalam berbagai situasi. Penampilan seorang guru atau pendidik dalam berbagai situasi dan kondisi pendidikan pada dasarnya merupakan cerminan kualitas kepribadiannya. Kepribadian merupakan keseluruhan prilaku dalam berbagai aspek yang secara kualitatif akan membentuk keunikan atau kekhasan seseorang dalam interaksi dengan lingkungan di berbagai situasi dan kondisi. Dengan demikian sifat utama seorang guru adalah kemampuannya dalam interaksi pendidikan yang sebaik-baiknya agar kebutuhan dan tujuan dapat dicapai secara efektif. Dengan kata lain, seorang guru hendaknya memiliki kompetensi kinerja yang mantap yaitu seperangkat penguasaan kemampuan yang harus ada dalam dirinya agar dapat tercermin dalam penampilanya yang bersumber pada kemampuan penguasaan subyek, kualitas, profesional, penguasaan proses dan kemampuan penyesuaian diri, serta berlandaskan kualitas kepribadiannya. Dalam konstek pendidikan seorang pendidik memainkan peranan yang sangat sentral. Dialah secara langsung mengelola aktivitas pendidikan dilapangan, dia bukan hanya pengajar tapi juga sebagai penanam nilai-nilai terhadap anak didik . Tugas sebagai pendidik merupakan tugas yang mulia dan luhur, selain itu juga tugas yang berat. Pendidik merupakan model manusia etik betapun ia harus bisa ditiru, di contoh dan diteladani. Jika terlanjur dan terpaksa malakukan kesalahan ia harus tetap bisa ditiru ia berani introspeksi diri, minta maaf, kemudian memperbaiki kesalahan dan kelemahan dirinya. Para ahli pendidikan telah banyak merumuskan sifat-sifat atau kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang ahli pendidik antara lain Muhammad Athiyah al-Abrhosyi merumuskan sifat atau kepribadian pendidik sebagai berikut : a. Zuhud, artinya pendidik tidak mengutamakan materi dan melakukannya karena Allah SWT semata. Seorang pendidik dalam pendidikan islam hendaknya tidak materialistis, tidak rakus terhadap dunia dan tidak mengukur segala sesuatu dengan materi, meskipun demikian tidak berarti tidak mau dan menerima kekayaan atau hasil kerja dari hasil pekerjaannya. b. Membersihkan diri baik fisik maupun psikisnya. c. Ikhlas dalam pekerjaannya. Seorang pendidik dituntut memiliki keikhlasan sebab keikhlasan merupakan salah satu sebab menuju jalan kesuksesan. Termasuk ikhlas adalah kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Melakukan apa-apa yang ditentukan dan tidak malu mengatakan tidak tahu bila ada yang tidak diketahui. d. Bersifat pemaaf, sabar dan mampu mengendalikan dirinya. e. Seorang pendidik harus mencintai anak didiknya seperti ia mencintai anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka sebagai mana ia memikirkan anak kandungnya sendiri. f. Harus mengetahui tabiat peserta didiknya dengan cara observasi, wawancara, melalui pergaulan dll. g. Harus mengetahui materi pelajaran. Sebenarnya apa yang telah dirumuskan para ahli tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh setiap pendidik muslim memiliki dua keadaan dalam proses pendidikan. Pertama adalah pendidik dalam keadaan tidak berhadapan dengan peserta didik, maksudnya pendidik harus mendidik dirinya sendiri. Pada tahap ini setiap pendidik muslim dibebani hukum wajib mendidik dirinya sendiri seperti harus mengusahakan dan menanamkan sifat-sifat seperti zuhud, rubbani, sabar, alim (ber'ilmu), adil, jujur, disiplin, ikhlas dan lain sebagainya. Sifat dasar yang harus dimiliki dalam rangka mendidik dirinya sendiri. Kedua adalah pendidik dalam keadaan berhadapan secara langsung dengan peserta didiknya. Pada tahap ini sifat-sifat yang harus dimiliki sebagai syarat bagi setiap pendidik kaitannya dengan pengembangan dan pembinaan kompetensi kepribadian adalah antara lain : kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa; disiplin, arif dan berwibawa; menjadi tauladan bagi peserta didiknya dan berakhlak mulia. Dalam al-Qur’an sebutan untuk pendidik lebih banyak lagi, seprti : al-’Alim/Ulama, Ulu al-’Ilm, Ulu al-Bab, Ulu al-Absyar, al-Mudzakir, al-Muzakki, dan al-Murabbi yang kesemuanya tersebar pada ayat-ayat al-Qur’an. D. Pendidik Yang Ideal Dalam Pendidikan Islam. Didalam islam, sebenarnya profil pendidik yang ideal telah ada dalam diri Nabi. Allah memerintahkan kepada ummat-Nya agar sebagian dari mereka ada yang berkenan memperdalam ilmu dan menjadi pendidik. Pendidik membawa amanah ilahiyah untuk mencerdaskan ummat manusia dan mengarahkannya untuk senantiasa taat beribadah kepada Allah dan berakhlak mulia. Berkenaan dengan pendidik, hampir semua kalangan akademisi sepakat bahwa pendidik/guru termasuk jabatan profesi. Oleh sebab itu, untuk menjadi pendidik yang ideal harus memenuhi persyaratan yang berat diantaranya; (1) Harus memiliki bakat sebagai guru. (2) Harus memiliki keahlian sebagai guru. (3) Memiliki kepribadian yang baik dan terintegrasi. Artinya, seorang pendidik harus berbudi pekerti yang luhur karena kepribadian seorang guru sedikit banyak akan dicontoh oleh anak didik. (4) Sehat jasmani dan rohani agar tidak menimbulkan ejekan dan cemoohan atau bahkan rasa kasihan dari anak didik. Disamping itu, seorang guru tidak boleh memiliki mental terganggu, pemarah, pemalu, penakut. Karena sifat-sifat tersebut akan mengganggu tugasnya sebagai pendidik tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. (5) Memiliki pengalaman dan pengetahuaan yang luas. Penguasaan pengetahuan ini merupakan syarat yang penting disamping ketrampilan-ketrampilan lainnya. (6) Seorang warga Negara yang baik dan berjiwa pancasila. Agar pendidik mampu mengemban tanggung jawab melaksanakan tugasnya maka seorang pendidik harus mempunyai kompetensi yang relevan dengan tanggung jawabnya. Dia harus mampu menguasai cara belajar yang efektif. Atas dasar profesi tersebut maka seorang guru dituntut memiliki kompetensi-kompetensi agar mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Dalam pada itu, menurut Oemar Hamalik bahwa indikator pendidik/guru dinilai kompeten secara profesional jika guru tersebut mampu mengembangkan tanggung jawab dengan baik, mampu melaksanakan peranannya dalam proses belajar mengajar, mampu bekerja mencapai tujuan pendidikan. Tanggung jawab ini berkenaan dengan tanggung jawab dibidang keilmuan. Artinya, mau mengembangkan ilmu yang menjadi spesialisnya serta mau mengadakan penelitian dan peningkatan. Tidak jarang ketidak berhasilan proses belajar mengajar dibebankan kepada seorang pendidik. Ini tidak berlebihan karena seorang pendidik dituntut untuk mengetahui dan memahami bagaimana mengajar dengan baik serta memiliki kompetensi. Peranan seorang pendidik sangatlah besar dan berat. Keberhasilan guru melaksanakan peranannya dalam pendidikan sebagian besar terletak pada kemampuannya melaksanakan berbagai peranannya. Disamping sebagai pendidik dan pengajar, guru juga berperan sebagai pemimpin, pembimbing, pengatur lingkungan, konselor dan lain-lain. Penutup Al-hasil, dari uraian singkat diatas dapat disimpulkan bahwa guru adalah sosok yang sangat penting dalam dunia pendidikan da n oleh karena itu dalam menjalankan tugasnya dituntut memiliki kompetensi dan kepribadian yang baik. Baik buruknya anak didik sebenarnya menjadi tanggung jawab keluarga. Oleh karenanya, Pendidikan keluarga adalah pendidikan pertama yang dialami oleh anak, maka peran serta dan pengaruh orang tua sangatlah dominan dan tidak dapat dikesampingkan. orang tua dirumah sebenarnya perlu sekali mempelajari teori-teori pendidikan. Dengan kemampuannya itu ia akan lebih berkemampuan menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya dirumah. kelainan pada anak didik disebabkan oleh kesalahan pendidikan dalam rumah tangga. Karena keterbatasan orang tua dalam mendidik anak sehingga tugas pendidikan diserahkan kepada pendidik. Biasanya, disebabkan oleh beberapa faktor yang antara lain: (1) Keterbatasan waktu yang tersedia sehingga tidak bisa intensif, (2) keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki (3) efisiensi biaya (4) efektifitas program kependidikan. Pendidik merupakan orang tua kedua setelah orang tua asli. Sebagai orang tua, Pendidik seharusnya melakukan anak didiknya seperti anaknya sendiri sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai dengan sepenuhnya. Daftar Pustaka Ahamad Janan Asifuddin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Suka Pers,2009). Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Al-Ma'arif, 1980. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2004). Az-Zarnuji, Ta'limul Muta'allim: Thariq at-Ta'allum, (Surabaya: Maktabah Salim Umar, t.t.) Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya. (Bandung: Al-Jumanatul 'Ali -ART, 2007). Departemen Agama, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Wawasan Tugas Guru dan Tenaga Kependidikan, (Jakarta: Depag, 2005). Hary Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999). Kemas Badamddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006). Kamus Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional. (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008). Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS, 2009). Muhammad Athiyah al-Abrhosyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan, terj. Bustomi. A. Ghani dan Djohar Bahri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970). Oemar Hamalik, Pendidikan Guru, Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006). Rita L. Athinson, et.al. Pengantar Psikologi, Edisi Kedelapan Jilid 2. terj. Nurjannah Nur Taufiq, (Jakarat: Erlangga, 1996). Sutari Iman Bernadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistimatis, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1993). UU RI Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sisitem Pendidikan Nasional.

Dusunblog: Tips Cara Berhenti Merokok Efektif Dan Mudah

Dusunblog: Tips Cara Berhenti Merokok Efektif Dan Mudah:   Tips cara berhenti merokok dengan mudah dan efektif - Berhenti merokok bukanlah hal yang mudah,  apalagi bagi mereka yang sudah kecanduan....

Rabu, 20 Maret 2013

HUKUM NIKAH SIRI

Nikah Sirri disebut nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi Saw dan para sahabat yang mulia, di mana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahn dalam hati mereka. Sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan resmi (pemerintah) dengan pernikahan sirri (‘urfi). Perbedaannya, kalau pernikahan sirri (‘urfi) hanyalah sah dalam pandangan syar’i disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti wali dan saksi, tetapi belum diakui oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA setempat. Sedangkan nikah secara resmi, selain diakui oleh pemerintah juga sah secara syar’i . DR. Abdul Fattah Amr berkata: “Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan pernikahan resmi yang sulit digugat . FAKTOR-FAKTOR PENDORONG NIKAH SIRI Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memilih Nikah Sirri (pernikahan tanpa dicatat di KUA). Di antaranya adalah faktor sosial, harta dan agama. 1.Faktor Sosial a. Problem Poligami Syariat Islam membolehkan bagi laki-laki yang mampu untuk menikah lebih dari satu istri. Sebagian kaum lelaki pun ingin mempraktikkan hal ini, namun ada hambatan sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh masyarakat atau undang-undang negara mempersulit atau cenderung melarangnya. b. Undang-undang usia Dalam suatu Negara biasanya ada peraturan tentang usia layak menikah. Di saat ada seorang pemuda atau pemudi yang sudah siap menikah tetapi belum terpenuhi usia dalam undang-undang, maka akhirnya dia memilih jalan ini. c. Tempat tinggal yang tidak menetap. Sebagian orang tidak menetap tempat tinggalnya karena terikat dengan pekerjaannya atau selainnya. Terkadang dia harus tinggal beberapa waktu yang cukup lama sedangkan istrinya tidak bisa mendampinginya. Dari situlah dia memilih pernikahan model ini guna menjaga kehormatannya. 2. Faktor Harta Dalam sebagian suku atau Negara masih mengakar adat jual mahar sehingga menjadi medan kebanggaan bagi mereka. Nah, tatkala ada pasangan suami istri yang ridho dengan mahar yang relative murah, mereka menempuh pernikahan model ini karena khawatir diejek oleh masyarakatnya. 3. Faktor Agama Termasuk faktor juga adalah lemahnya iman, di mana sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat dalam suatu pernikahan resmi’ SEJARAH PENCATATAN AKAD NIKAH Kaum muslimin pada zaman dahulu mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaaan, di mana dimungkinkan para saksi itu lupa, lalai, meninggal dunia, dan sebagainya, maka diperlukan adanya pencatatan akad nikah secara tertulis. Awal pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar atau sebagian mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan bukti pernikahan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan: “Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, seandainya diantara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut adalah istrinya. HUKUM NIKAH SIRI (TANPA KUA) Karena masalah pencatatan akad nikah ini termasuk masalah kontemporer, maka tak heran jika para ulama berbeda pandangan tentang hukumnya. Silang pendapat mereka dapat kita bagi sebagai berikut: Pendapat Pertama Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya boleh dan sah secara mutlak, karena pencatatan bukanlah termasuk syariat nikah dan tidak ada pada zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat. Pendapat Kedua Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya haram dan tidak boleh pada zaman sekarang, karena itu nikah sirri termasuk yang terlarang dan melanggar peraturan pemerintah yang bukan maksiat. Pendapat Ketiga Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya adalah sah karena semua syarat nikah telah terpenuhi hanya saja dia berdosa karena melanggar perturan pemerintah yang bukan maksiat. Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baz: Apabila telah terjadi akad ijab qobul dengan terpenuhinya semua syarat nikah dan tidak ada semua penghalangnya maka pernikahan hukumnya adalah sah. Dan apabila secara undang-undang, pencatatan akad nikah membawa maslahat bagi kedua mempelai baik untuk masa sekarang maupun masa depan maka hal itu wajib dipatuhi Allah berfirman: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.” (QS. an-Nisaa’: 59) Al-Mawardi rahimahullah berkata: “Allah mewajibkan kita menaati para pemimpin kita” Kesimpulan: Nikah tanpa pencatatan secara resmi oleh pegawai pemerintah hukumnya adalah sah selagi semua persyaratan nikah telah terpenuhi. Pencatatan nikah memang tidak ada pada zaman Nabi dan para sahabat, hal ini termasuk politik syar’i yang tidak bertentangan dengan agama bahkan memiliki banyak manfaat. Wajib bagi setiap muslim menaati undang-undang tersebut karena ini termasuk salah satu bentuk ketaatan kepada pemimpin. Wallahu A’lam bishshawab !

Nancy Ajram - Enta Eih / نانسى عجرم - إنت إيه

Jumat, 15 Maret 2013

AKHLAK ISTERI TERHADAP SUAMI

Akhlak seorang istri terhadap suami adalah sebagai berikut: ( Dikutip dari beberapa sumber ) Wajib mentaati suami, selama bukan untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Al Bazzar dan Ath Thabrani meriwayatkan bahwa seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata, “Aku adalah utusan para wanita kepada engkau: jihad ini telah diwajibkan Allah kepada kaum laki-laki; jika menang diberi pahala, dan jika terbunuh mereka tetap hidup diberi rezeki oleh Rabb mereka, tetapi kami kaum wanita yang membantu mereka, pahala apa yang kami dapatkan?” Nabi SAW menjawab, “Sampaikanlah kepada wanita yang engkau jumpai bahwa taat kepada suami dan mengakui haknya itu sama dengan jihad di jalan Allah, tetapi sedikit sekali di antara kamu yang melakukannya.” Menjaga kehormatan dan harta suami Allah SWT berfirman, “Maka wanita-wanita yangbaik itu ialah yang mentaati suaminya dan menjaga hal-hal yang tersembunyi dengan cara yang dipelihara oleh Allah.” (QS. An Nisa’:34) Menjaga kemuliaan dan perasaan suami Ketika Asma bin Kharijah Al-Fazariyah menyerahkan anak perempuanya kepada suaminya di malam pernikahannya, ia berkata,”Wahai anakku, sesungguhnya engkau telah keluar dari kehiduoan yang selama ini engkau kenal. Sekarang engkau akan berada di ranjang yang belum pernah engkau ketahui, bersama pasangan yang belum sepenuhnya engkau kenali. Karena itu, jadilah engkau bumi baginya dan dia akan menjadi langit bagimu, jadilah engkau hamparan baginya dan dia akan menjadi hamba sahaya bagimu. Janganlah engkau menentangnya, sehingga ia membencimu. Jangankah engkau menjauh darinya, sehingga ia melupakanmu. Jika ia menjauh darimu, maka menjauh pulalah engkau darinya, dan jagalah hidungnya, pendengarannya dan matanya; jangan sampai ia mencium darimu kecuali yang harum, janganlah ia mendengar kecuali yang baik, dan jangan ia memandang kecuali yang cantik.” Melaksanakan hak suami, mengatur rumah dan mendidik anak Anas r.a berkata, “Para sahabat Rasulullah SAW apabila menyerahkan pengantin wanita kepada suaminya, mereka memerintahkan agar melayani suami, menjaga haknya, dan mendidik anak-anak.” Tidak boleh seorang istri menerima tamu yang tidak disenangi suaminya. Seorang istri tidak boleh melawan suaminya, baik dengan kata-kata kasar maupun dengan sikap sombong. Tidak boleh membanggakan sesuatu tentang diri dan keluarganya di hadapan suami, baik kekayaan, keturunan maupun kecantikannya. Tidak boleh menilai dan memandang rendah suaminya. Tidak boleh menuduh kesalahan atau mendakwa suaminya, tanpa bukti-bukti dan saksi-saksi. Tidak boleh menjelek-jelekkan keluarga suami. Tidak boleh menunjukkan pertentangan di hadapan anak-anak. Agar perempuan (istri) menjaga iddahnya, bila ditalak atau ditinggal mati oleh suaminya, demi kesucian ikatan perkawinannya. Apabila melepas suami pergi bekerja, lepaslah suami dengan sikap kasih, dan apabila menerima suami pulang bekerja, sambutlah kedatangannya dengan muka manis/tersenyum, pakaian bersih dan berhias. Setiap wanita (istri) harus dapat mempersiapkan keperluan makan, minum, dan pakaian suaminya. Seorang istri harus pandai mengatur dan mengerjakan tugas-tugas rumah tangganya.

AKHLAK BERPAKAIAN DAN AKHLAK BERHIAS

A. AKHLAK BERPAKAIAN Pakaian sebagai kebutuhan dasar bagi setiap orang dalam berbagai zaman dan keadaan. Islam sebagai ajaran yang sempurna, telah mengajarkan kepada pemeluknya tntang bagaimana tata cara berpakaian. Berpakaian menurut Islam tidak hanya sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi setiap orang, tetapi berpakaian sebagai ibadah untuk mendapatkan ridha Allah. Oleh karena itu setiap orang muslim wajib berpakaian sesuai dengan ketentuan yang ditetap Allah. Untuk memberikan gambaran yang jelas tntang adab berpakaian dalam Islam, berikut ini akan dijelaskan pengertian adab berpakaian, bentuk akhlak berpakaian, nilai positif berpakaian dan cara membiasakan diri berpakaian sesuai ajaran Islam. Pengertian Akhlak Berpakaian Pakaian (jawa : sandang) adalah kebutuhan pokok bagi setiap orang sesuai dengan situasi dan kondisi dimana seorang berada. Pakaian memiliki manfaat yang sangat besar bagi kehidupan seorang, guna melindungi tubuh dari semua kemungkinan yang merusak ataupun yang menimbulkan rasa sakit. Dalam Bahasa Arab pakaian disebut dengan kata "Libaasun-tsiyaabun". Dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonsia, pakaian diartikan sebagai "barang apa yang biasa dipakai oleh seorang baik berupa baju, jaket, celana, sarung, selendang, kerudung, jubah, surban dan lain sebagainya. Secara istilah, pakaian adalah segala sesuatu yang dikenakan seseoang dalam bebagai ukuran dan modenya berupa (baju, celana, sarung, jubah ataupun yang lain), yang disesuaikan dengan kebutuhan pemakainya untuk suatu tujuan yang bersifat khusus ataupun umum. Tujuan bersifat khusus artinya pakaian yang dikenakan lebih berorientasi pada nilai keindahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pemakaian. Tujuan bersifat umum lebih berorientasi pada keperluan untuk menutup ataupun melindungi bagian tubuh yang perlu ditutup atau dilindungi, baik menurut kepatutan adat ataupun agama. Menurut kepatutan adat berarti sesuai mode ataupun batasan ukuran untuk mengenakan pakaian yang berlaku dalam suatu wilayah hukum adat yang berlaku. Sedangkan menurut ketentuan agama lebih mengarah pada keperluan menutup aurat sesuai ketentuan hukum syari'at dengan tujuan untuk berribadah dan mencari ridho Allah. (Roli A.Rahman, dan M, Khamzah, 2008 : 30). Bentuk Akhlak Berpakaian Dalam pandangan Islam pakaian dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu : pertama, pakaian untuk menutupi auot tubuh sebagai realisasi dai perintah Allah bagi wanita seluruh tubuhnya kecuali tangan dan wajah, dan bagi pria menutup di bawah lutut dan di atas pusar. Standar pakaian seperti ini dalam perkembangannya telah melahirkan kebudayaan berpakaian bersahaja sopan dan santun serta menghindarkan manusia dari gangguan dan eksploitasi aurat. Sedangkan yang kdua, pakaian merupakan perhiasan yang menyatakan identitas diri sebagai konsekuensi perkmbangan peradaban manusia. Berpakaian dalam pengertian untuk menutup aurat, dalam Syari'at Islam mempunyai ketentuan yang jelas, baik ukuran aurat yang harus ditutup atau pun jenis pakaian yang digunakan untuk menutupnya. Bepakaian yang menutup aurat juga menjadi bagian intgral dalam menjalankan ibadah, terutama ibadah shalat atau pun haji dan umrah. Karena itu setiap orang beriman baik pria atau pun wanita memiliki kewajiban untuk berpakaian yang menutup aurat. Sedangkan pakaian yang berfungsi sebagai perhiasan yang menyatakan identitas diri, sesuai dengan adaptasi dan tradisi dalam berpakaian, merupakan kebutuhan manusia untuk menjaga dan mengaktualisasikan dirinya menurut tuntutan perkembangan zaman. Nilai keindahan dan kekhasan berpakaian menjadi tuntutan yang terus dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman. Dalam kaitannya dengan pakaian sebagai pehiasan, maka setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan keinginan mengembangkan bebagai mode pakaian menurut fungsi dan momentumnya namun dalam agama harus tetap pada nilai-nilai dan koridor yang telah digaiskan dalam Islam. Pakaian yang berfungsi menutup aurat pada wanita diknal dengan istilah jilbab, dalam bahasa sehari-hari jilbab mengangkut segala macam jenis selendang atau kerudung yang menutupi kepala (kecuali muka), leher, punggung dan dada wanita. Dengan pengertian seperti itu selendang yang masih mmperlihatkan sebagian rambut atau leher tidaklah dinamai jilbab. Dalam kamus Bahasa Arab, Al-Mu'jam al-Wasith, jilbab di samping dipahami dalam arti di atas juga digunakan secara umum untuk segala jenis pakaian yang dalam (gamis, long dress, kebaya) dan pakaian wanita bagian luar yang menutupi semua tubuhnya seperti halnya mantel, jas panjang. Dengan pengertian seperti itu jilbab bisa diartikan dengan busana muslimah dalam hal ini secara khusus berarti selendang atau kerudung yang berfungsi menutupi aurat. Karena itu hanya muka dan telapak tangan yang boleh diperlihatkan kepada umum. Selain itu haram diperrlihatkan kecuali kepada beberapa orang masuk kategori mahram atau maharim dan tentu saja kepada suaminya. Antara suami istri tidak ada batasan aurat sama sekali secara fiqih. Tetapi dengan maharim yang boleh terlihat hanyalah aurat kecil (leher ke atas, tangan dan lutut ke bawah). Busana muslimah haruslah memenuhi kriteria berikut ini : 1. Tidak jarang dan ketat 2. Tidak menyerupai pakaian laki-laki 3. Tidak menyerupai busana khusus non-muslim 4. Pantas dan sederhana (Roli A. Rahman, dan M. Khamzah, 2008 : 30) Nilai Positif Akhlak Berpakaian Setiap muslim diwajibkan untuk memakai pakaian, yang tidak hanya berfungsi sebagai menutup auat dan hiasan, akan tetapi harus dapat menjaga kesehatan lapisan terluar dari tubuh kita. Kulit befungsi sebagai pelindung dari krusakan-kerusakan fisik karena gesekan, penyinaran kuman-kuman, panas zat kimia dan lain-lain. Di daerah tropis dimana pancaran sinar ultra violet begitu kuat, maka pakaian ini menjadi sangat penting. Pancaran radiasi sinar ultra violet akan dapat menimbulkan terbakarnya kulit, penyakit kanker kulit dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan penggunaan bahan, hendaknya pakaian terbuat darri bahan yang dapat menyerap keringat seperti katun, karena memudahkan terjadinya penguapan keringat, dan untuk menjaga suhu kestabilan tubuh agar tetap normal. Pakaian harus bersih dan secara rutin dicuci setelah dipakai supaya terbebas dari kuman, bakteri ataupun semua unsur yang merugikan bagi kesehatan tubuh manusia. Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar berpakaian yang baik, indah dan bagus, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam pengertian bahwa pakaian tersebut dapat memenuhi hajat tujuan berpakaian, yaitu menutupi aurat dan keindahan. Sehingga bila hendak menjalankan shalat dan seyogyanya pakaian yang kita pakai itu adalah pakaian yang baik dan bersih (bukan berarti mewah). Hal ini sesuai fiman Allah dalam Surat al-A'raf/7 : 31. يَبَنِى أَدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوْا ج اِنَّهُ, لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ Artinya : "Hak anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid makan, minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (Q.S Al-A'raf/7 : 31) Islam mengajak manusia untuk hidup secaa wajar, berpakaian secara wajar, makan minum juga jangan kurang dan jangan berlebihan. Ketentuan dan kriteria busana muslimah menurut Al-Qur'an dan Sunnah memang lebih ketat dibanding ketentuan berbusana untuk kaum pria. Hal-hal yang tidak diatur oleh Al-Qur'an dan Sunnah diserahkan kepada pilihan masing-masing, misalnya masalah warna dan mode. Keduanya menyangkut selera dan budaya, pilihan warna dan mode akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan peradaban umat manusia. Karena itu apapun model busanya, maka haruslah dapat mengantarkan menjadi hamba Allah yang bertaqwa (Roli A. Rahman, dan M. Khamzah, 2008 : 32) Membiasakan Akhlak Berpakaian Merujuk pada realita di lapangan, manusia dalam berbagai tingkat statifikasi dan levelnya tetap akan mengenakan pakaian sebagai kebutuhan untuk melindungi diri ataupun memperelok diri. Jenis pakaian yang dikenakan setiap orang mencerminkan identitas seorang sesuai dengan tingkat peradaban yang berkembang. Karena itu pakaian yang dikenakan setiap orang pada zaman modern cukup beragam baik bahan ataupun modenya. Agama Islam memerintahkan pemeluknya agar berpakaian yang baik dan bagus, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam pengertian bahwa pakaian tersebut dapat memenuhi hajat tujuan berpakaian, yaitu menutupi aurat dan keindahan. Terutama apabila kita akan melakukan ibadah shalat, maka seyogyanya pakaian yang kita pakai itu adalah pakaian yang baik dan bersih Islam mengajak manusia untuk hidup secara wajar, berpakaian secara wajar, makan minum juga jangan kurang dan jangan berlebihan. Islam telah menggariskan aturan-aturan yang jelas dalam berpakaian yang harus ditaati yakni dalam apa yang disebut etika berbusana. Seorang muslim atau muslimah diwajibkan untuk memakai busana sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam aturan. Tidak dibenarkan seorang muslim atau muslimah memakai busana hanya berdasarkan kesenangan, mode atau adat yang berlaku di suatu masyarakat, sementara batasan-batasan yang sudah ditentukan agama ditinggalkan. Karena sesungguhnya hanya orang munafiq, yang suka meninggalkan ketentuan berpakaian yang sudah diatur agama yang diyakini kebenarannya, akibat mereka yang mengabaikan ketentuan akan mendapatkan azab di hadapan Allah kelak di akhirat. (Roli A. Rahman, dan M. Khamzah 2008 : 32) B. AKHLAK BERHIAS Berhias adalah naluri yang dimiliki oleh setiap manusia. Berhias telah menjadi kebutuhan dasar manusia sesuai dengan tingkat peradaban, tingkat sosial di masyarakat. Berhias dalam ajaran Islam sebagai ibadah yang berorientasi untuk mndapatkan ridha Allah. Untuk memberikan uraian yang lebih detail tentang akhlak berhias, berikut akan dibahas tentang ; pengetian akhlak berhias, bentuk akhlak berhias, nilai positif akhlak berhias, membiasakan akhlak berhias dalam kehidupan sehari-hari, tentunya sesuai dengan nilai Islam. Pengetian Akhlak Berhias Dalam kehidupan masyarakat dewasa ini (modern), berhias adalah kebutuhan dasar untuk memperindah penampilan diri, baik di lingkungan rumah ataupun di luar rumah. Berhias adalah bentuk ekspesi personal, yang menegaskan jati diri dan menajdi kebanggaan seseorang. Berhias dalam Bahasa Arab disebut dengan kata "Zayyana-yazayyini (QS. Al-Nisa') 'Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berhias diarttikan : "Usaha memperelok diri dengan pakaian ataupun lainnya yang indah-indah, berdandan dengan dandanan yang indah dan menarik" Secara istilah berhias dapat dimaknai sebagai upaya setiap orang untuk memperindah diri dengan berbagai busana, asesoris ataupun yang lain dan dapat memperindah diri bagi pemakainya, sehingga memunculkan kesan indah bagi yang menyaksikan serta menambah rasa percaya diri penampilan untuk suatu tujuan tertentu. Berdasarkan ilustrasi di atas, maka dapat dipahami pada pada hakekat berhias itu dapat dikategorikan akhlak terpuji, sebagai perbuatan yang dibolehkan bahkan dianjurkan, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam. (QS. Al-A'raf : 31). Dalam sebuah Hadist Nabi saw bersabda : إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ وَيُحِبُّ الْجَمَالِ (رواه مسلم) Artinya : Sesungguhnya Allah itu Indah dan menyukai keindahan (HR. Muslim) Adapun tujuan berhias untuk memperindah diri sehingga lebih memantapkan pelakunya menjadi insane yang lebih baik (muttaqin). (Roli A. Rahman, dan M. Khamzah, 2008 : 33). Bentuk Akhlak Berhias Berhias merupakan perbuatan yang diperintahkan ajaran Islam. Mengenakan pakaian merupakan salah satu bentuk berhias yang diperintahkan. Pakaian dalam Islam memiliki fungsi hiasan yaitu untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak sekadar membutuhkan pakaian penutup aurat, tetapi juga busana yang memperelok pemakainya. Pada masyarakat yang sudah maju peradabannya, mode pakaian ataupun berdandan mmperoleh perhatian lebih besar. Jilbab, dalam konteks ini, menjalankan fungsinya sebagai hiasan bagi para muslimah. Mode jilbab dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan. Jilbab bukan hanya sebagai penutup aurat, namun juga memberikan keelokan dan keindahan bagi pemakainya untuk mempercantik dirinya. Berhias dalam ajaran Islam tidak sebatas pada penggunaan pakaian, tetapi mencakup keseluruhan piranti (alat) aksesoris yang lazim digunakan untuk mempercantik diri, mulai dari kalung, gelang, arloji, anting-anting, bross dan lainnya. Di samping itu dalam kehidupan modern, berhias juga mencakup penggunaan bahan ataupun alat tertentu untuk melengkapi dandanan dan penampilan mulai dari bedak, make-up, semir rambut, parfum, wewangian dan sejenisnya. Agama Islam telah memberikan rambu-rambu yang tegas agar setiap muslim mengindahkan kaidah berhias yang meliputi : 1. Niat yang lurus, yaitu berhias hanya untuk beribadah, artinya segala bentuk kegiatan berhias diorientasikan sebagai bentuk nyata bersyukur atas nikmat dan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. 2. Dalam berhias tidak dibenarkan menggunakan bahan-bahan yang dilarang agama 3. Dilarang berhias dengan menggunakan simbol-simbol non muslim (salib dll) 4. Tidak berlebih-lebihan 5. Dilarang berhias seperti cara berhiasnya orang-orang jahiliyah 6. Berhias menurut kelaziman dan kepatutan dengan memperhatikan jenis kelamin 7. Dilarang berhias untuk keperluan berfoya-foya atau pun riya' Islam telah memberikan batasan-batasan yang jelas agar manusia tidak tertimpa bencana karena nalurinya yang cenderung mengikuti hawa nafsunya. Sebab seringkali naluri manusia berubah menjadi nafsu liar yang menyesatkan dan akan menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia. Agama Islam memberi batasan dalam etika berhias, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah berikut : وَقَرْنَ فِى بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ اْلجَهِلِيَّةِ اْلأُوْلىَ وَأَقِمْنَ الصَّلَوةَ وَأَتِيْنَ الزَّكَوةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ج إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا (23) 33. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu (1215) dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (1216) dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasulnya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait (1217)dan membersihkan kamu sebersih-besihnya. (QS. Al-ahzab/33 : 33) (1215) Maksudnya : istri-istri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara'. Perintah ini juga meliputi segenap mukminat. (1216) yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum Nabi Muhammad saw dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang ialah jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam. (1217) Ahlul bait disini, yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah saw Larangan Allah dalam ayat tersebut di atas, secara khusus ditujukan kepada wanita-wanita muslimah, agar mereka tidak berpenampilan (tabarruj)seperti orang-orang jahiliyah zaman Nabi dahulu. Berangkat dari pengalaman sejarah masa lalu, maka seorang muslim harus berhati-hati dalam berhias. Sebab jika seorang muslim sembarangan dalam berhias, maka akan terjebak dalam perangkat setan. Ketauhilah bahwa setan memasang perangkap di setiap sudut kehidupan manusa. Tujuannya tentu saja untuk menjebak manusia agar menjadi sahabat setianya. (Roli A. Rahman dan M. Khamzah, 2008 : 34) Nilai Positif Akhlak Berhias Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur manusia dalam segala aspeknya. Ajaran Islam bukannya hanya mengatur hubungan vertikal manusia (hablum minallah), tetapi juga hubungan horizontal dengan sesamanya (hablum minannas). Karena itulah antara lain Islam dikatakan sebagai yang sempurna, Islam mengajarkan kepada manusia mulai dari bagaimana cara makan, minum, tidur, sampai bagaimana cara mengabdi kepada sang khalik. Dalam masalah berhias, Islam menggariskan aturan-aturan yang harus ditaati yakni dalam apa yang disebut etika berhias (berdandan). Seorang muslim atau muslimah dituntut untuk berhias sesuai dengan apa yang digariskan dalam aturan. Tidak boleh misalnya, seorang muslim atau muslimah dalam berhias hanya mementingkan mode atau adat yang berlaku di suatu masyarakat, sementara batasan-batasan yang sudah ditentukan agama ditinggalkan. Seorang muslim ataupun muslimah yang berhias (berdandan) sesuai ketentuan Islam, maka sesungguhnya telah menegaskan jati dirinya sebagai mukmin ataupun muslim. Mereka telah menampilkan diri sebagai sosok pribadi yang bersahaja dan berwibawa sebagai cermin diri yang konsisten dalam berhias secara syar'i. Di samping itu dengan dandannya yang telah mendapatkan jaminan halal secara hukum. Sehingga apa yang sudah dilakukan akan mnajdi motivasi untuk menghasilkan karya yang bermanfaat bagi sesamanya. Tidak mnimbulkan keangkuhan dan kesombongan karena dandanan (hiasan) yang dikenakan, karena keangkuhan dan kesombongan merupakan perangkap syaithon yang harus dihindari. Berhias secara Islami akan memberikan pengaruh positif dalam berbagai aspek kehidupan, karena berhias yang dilakukan diniatkan sebagai ibadah, maka segala aktivitas berhias yang dilakukan seorang muslim, akan menjadi jalan untuk mendapatkan barokah dan pahala dari al-Kholik. Namun sebaliknya apabila seseorang dalam berhias (berdandan) mengabaikan norma Islam maka segala hal yang dilakukan dalam berdandan, akan menjadi pendorong untuk melakukan kemaksiatan kemungkaran bahkan menjadi sarana memasuki perangkap syaithon yang menyesatkan. Adapun bentuk perangkap setan dalam hal berhias, dapat kita telusuri melalui kisah manusia pertama sebelum diturunkan di bumi. Ketika Adam dan Hawa masih tinggal di surga, setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya. Setan membujuk mereka untuk menampakkan auratnya dengan cara merayu mereka untuk memakan buah khuldi. Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata : "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)" (QS. Al-a'raf /7:20). Dari peristiwa Adam dan Hawa tersebut, kita dapat mengambil dua pelajaran, pertama, ide membuka aurat adalan idenya setan yang selalu hadir dalam lintasan pikiran manusia, Kedua, Adam dan Hawa diusir dari surga karena terjebak pada perangkap setan, maka derajat mereka turun dengan drastis. Begitulah siapapun yang mau dijebak setan akan mengalami nasib yang sama. (Roli A. Ahman, dan M. Khamzah, 2008 : 35) Membiasakan Akhlak Berhias Sejak awal agama Islam telah menanamkan kesadaran akan kewajiban pemeluknya untuk menjaga sopan santun dalam kaitannya dengan berhias ataupun berdandan, dengan cara menentukan bahan, bentukm ukuran dan batasan aurat baik bagi pria ataupun wanita. Berhias merupakan kebutuhan manusia untuk menjaga dan mengaktualisasikan dirinya menurut tuntutan perkembangan zaman. Nilai keindahan dan kekhasan dalam berhias menjadi tuntutan yang terus dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman. Dalam kaitannya dengan kegiatan berhias atau berdandan, maka setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan keinginan mengembangkan berbagai model menurut fungsi dan momentumnya, sehingga berhias dapat menyatakan identitas diri seseorang. Dalam Islam diperintahkan untuk berhias yang baik, bagus, dan indah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam pengertian bahwa, perhiasan tersebut dapat memenuhi hajat tujuan berhias, yaitu mempercantik atau memperelok diri dengan dandanan yang baik dan indah. Terutama apabila kita akan melakukan ibadah shalat, maka seyogyanya perhiasan yang kita pakai itu haruslah yang baik, bersih dan indah (bukan berarti mewah), karena mewah itu sudah memasuki wilayah berlebihan. Hal ini sesuai firman Allah :" Hak anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan, minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Q.S. al-A'raf/7:31). Islam mengajak manusia untuk hidup secara wajar, berpakaian secara wajar, berhias secara lazim, jangan kurang dan jangan berlebihan. Karena itu setiap pribadi menyakinkan, tidak menyombongkan diri, tidak angkuh, tetapi tetap sederhana dan penuh kebersahajaan sebagai wujud konsistensi terhadap ajaran Islam. (Roli A. Rahman, dan M. Khamzah, 2008 : 36).

Selasa, 12 Maret 2013

Catatan Kisah: UMMU SULAIM, SANG BUNGA SURGA

Catatan Kisah: UMMU SULAIM, SANG BUNGA SURGA: UMMU SULAIM, SANG BUNGA SURGA Seorang wanita dambaan member pelajaran. Nyaris sempurnah sosok wanita ini, wajahnya rupawan begitu mena...

Kamis, 07 Maret 2013

MISTERI ANGKA 143 DALAM AL QUR'AN

71 golongan yahudi , 70 ke neraka hanya 1 yg disurga , siapa dia ? dia lah yg mengikuti ajaran Musa Alaihi salam. 72 golongan Nashrani , 71 ke neraka hanya 1 yg disurga, siapa dia ? dia lah yg mengikuti ajaran Isa Alaihi salam. 73 golongan Islam , 72 ke neraka hanya 1 yg disurga , siapa dia ? dia lah yg mengikuti ajaran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. 72-71-70 = 3 berarti 24 gol yahudi + 24 gol nashrani + 24 gol Islam = 24*3 = 72 golongan ke neraka . sama halnya dengan 1000 orang , 999 ke neraka 1 ke surga => 1000 agama hanya 1 agama yg lurus , 999 nya sesat. 1 + 1 + 1 = 3 dalam 1 beribadah bersama yaitu sholat ber-jamaah untuk menyembah 1 Tuhan yaitu Allah Azawajala. siapa yg 1 itu ? dia lah orang yg mengikuti ajaran Muhammad SAW , kenapa Muhammad ? karena Adam hingga Muhammad mengajarkan satu agama yaitu Tauhid , semua Nabi dan Rasul adalah orang2 yg Mukmin , dan hanya orang2 Islam lah yg mengimani semua Nabi/Rasul dan menerima Nabi Akhir adalah Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. maka perhatikan ini wahai golongan2 sesat , agar kesesatan kalian dapat di selamatkan 70+71+72 = 143 >> BACA !! " Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. (QS Al-Baqarah Ayat 143 ) Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir) , maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya(Qs 4 An-Nisaa': 143) Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau." Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku." Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman."(Qs 7 Al-A'raaf: 143) Sesungguhnya kamu mengharapkan mati (syahid) sebelum kamu menghadapinya; (sekarang) sungguh kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya (Qs 3 Ali 'Imran : 143) Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu,(Qs 26 Asy-Syu'araa': 143) "(Binatang ternak itu) delapan ekor - (empat) pasangan; dari kambing biri-biri dua ekor (sepasang jantan betina), dan dari kambing biasa dua ekor (sepasang jantan betina). Tanyalah (wahai Muhammad kepada orang-orang musyrik itu): "Adakah yang diharamkan Allah itu, dua jantannya atau dua betinanya, atau yang dikandung oleh rahim dua betinanya? Terangkanlah kepadaku dengan berdasarkan ilmu pengetahuan (Syarak dari Allah yang menjadi dalil tentang haramnya), jika betul kamu orang-orang yang benar"(QS Al-An'aam ,ayat 143 )

CINTA RASUL

Cinta dan mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Allah Ta'ala berfirman : Katakanlah:"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3:31) Ayat ini menerangkan bahwa tanda dari kecintaan kita kepada Allah adalah mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan bahwa mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah sarana untuk mendapatkan kecintaan dan ampunan dari Allah Ta'ala. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : " Seseorang di antara kamu belum beriman sehingga aku lebih dicintainya daripada kedua orangtua, anaknya dan seluruh manusia." HR. Bukhari dan Muslim. dalam diri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terdapat akhlak yang mulia, keberanian dan kemuliaan. Barangsiapa melihatnya secara tiba-tiba akan takut kepadanya, dan barangsiapa yang bergaul dengannya maka dia akan mencintainya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menyampaikan risalahnya, memberi nasihat kepada umat, mempersatukan kalimah, membuka beberapa hati manusia bersama para sahabatnya dengan mempersatukan mereka dan membuka banyak negeri dengan perjuangan mereka untuk membebaskan manusia dari penyembahan sesama manusia menuju penyembahan terhadap Tuhan manusia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya telah menyampaikan kepada kita agama Islam secara sempurna tanpa tercampur dengan bid'ah dan khurafat, dan tidak perlu ditambah atau dikurangi. Allah berfirman : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. QS. 5:3) Oleh karenanya, ikutilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam secara menyeluruh sesuai dengan kemampuan yang kita miliki dan janganlah menambah-nambah atau membuat syari'at yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak pula pernah dikerjakan oleh para sahabatnya, dengan demikian mudah-mudahan Allah memasukkan kita ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang benar dalam keimanan mereka kepada-Nya sehingga Allah memenuhi janji-Nya kepada mereka. Allah berfirman : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33:21) Dan ketahuilah bahwa cinta kepada Allah dan RasulNya yang benar mempunyai konsekuensi untuk melaksanakan kitab Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang shahih, melaksanakan hukum dengan berpegang teguh kepada keduanya dan tidak boleh mendahulukan pendapat orang atas keduanya. Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 49:1) Ya Allah, karuniailah kami untuk mencintai dan mengikuti RasulMu, berakhlak dengan akhlaknya dan memperoleh syafa'atnya.